Perilaku konsumen sendiri merupakan studi, tentang apa dan bagaimana individu, kelompok, organisasi dan proses yang dilakukan untuk memilih, mengamankan, menggunakan dan menghentikan produk/ jasa, pengalaman atau ide untuk memuaskan kebutuhannya dan dampaknya terhadap konsumen atau masyarakat.
Menurut para ahli :
Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1995) pemahaman terhadap perilaku konsumen mencakup pemahaman terhadap tindakan yang langsung yang dilakukan konsumen dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan tersebut.
Menurut Hawkins,Best dan Coney (2007) menyatakan : Consumer behavior is the study if individuals, groups,or organitations and the processes they use to select, secure, use, and dispose of product, services, experiences or ideas to satisfy needs and the impact that these processes have on the consumer and society.
Menurut Schiffman dan Kanuk (2007) bahwa perilaku konsumen merupakan studi yang mengkaji bagaimana individu membuat keputusan membelanjakan sumberdaya yang tersedia dan dimiliki (waktu,uang dan usaha) untuk mendapatkan barang atau jasa yang nantinya akan dikonsumsi.
Menurut Loudon dan Bitta (1995) menjelaskan bahwa perilaku konsumen mencakup proses pengambilan keputusan dan kegiatan yang dilakukan konsumen secara fisik dalam pengevaluasian, perolehan penggunaan atau mendapatkan barang dan jasa.
Tatik Suryani mendefinisikan perilaku konsumen
sebagai berikut :
“Sebagai tindakan yang terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini”.
Adapun manfaat mempelajari perilaku konsumen ini,yaitu untuk kepentingan penyusunan strategi maupun bauran pemasaran. Dengan melalui pemahaman terhadap psikografis konsumen dan juga perilaku penggunaan, pemasaran dapat melakukan segmentasi berdasarkan variable tersebut. Manfaat lain juga dari mempelajari perilaku konsumen bagi perusahaan adalah memungkinkan perusahaan memahami dengan tepat kebutuhan dan keinginan pelanggan sehingga dapat membantunya untuk memuaskan pelanggan, menerapkan konsep pemasaran dan memperluas legitimasi ke masyarakat (sheth & Mittal, 2004).
Dalam perkembangnya perilaku konsumen memerlukan ilmu-ilmu lain yang terkait, yang memungkinkan untuk mampu menjelaskan perilaku konsumen dengan lebih baik dan lebih terperinci. Sebagai contoh ilmu lain yang telah memberikan sumbangan pemikiran bagi studi perilaku konsumen antara lain :
Sosiologi : yaitu dengan memberikan sumbangan dalam mempelajari kekuatan social yang mempengaruhi konsumen, seperti konsep struktur social, keluarga, kelas social, etnis, gender dan gaya hidup yang dapat mempengaruhi perilaku individu maupaun kelompok.
Antropologi : yaitu dengan memahami fenomena konsumen ritual, mitos, symbol dan aspek budaya lainnya.
Ekonomi : yaitu dengan membantu dalam memberikan pemahaman tentang keterkaitan antara kebijakan harga dengan respon perilaku konsumen serta adanya perbedaan perilaku konsumen.
Psikiologi : yaitu dengan memahami proses psikiologi yang sifatnya belajar, sikap dan dinamika kelompok yang berpengaruh terhadap perilaku konsumen.
Menurut Kotler dan Amstrong (2006) model perilaku konsumen adalah sebagai berikut : Stimuli dari luar terdiri atas 2 macam yaitu stimuli pemasaran dan stimuli lain-lain. Stimuli pemasaran meliputi 4 unsur bauran pemasaran yaitu : produk, harga, distribusi dan promosi. Sedangkan stimulasi lain terdiri atas keadaan ekonomi, teknologi, politik dan kebudayaan. Kotak hitam pembeli ini terdiri atas 2 komponen, bagian pertama adalah karakteristik pembeli yang meliputi faktor budaya, social, personal dan psychological yang mempunyai pengaruh utama bagaiman seorang pembeli bereaksi terhadap rangsangan tersebut dan bagian kedua adalah proses yang mempengaruhi hasil keputusan.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang akan menentukan respon konsumen. Pertama adalah konsumen itu sendiri. Ada 2 unsur dari konsumen itu sendiri yang berpengaruh terhadap pengembilan keputusan yaitu pikiran konsumen yang meliputi kebutuhan atau motivasi, persepsi, sikap dan karakteristik konsumen yang meliputi demografi, gaya hidup dan kepribadian konsumen. Faktor kedua adalah pengaruh lingkungan yang terdiri atas nilai budaya, pengaruh sub dan lintas budaya, kelas social, face to face group dan situasi lain yang menentukan. Faktor lingkungan ini melalui komunikasi akan menyediakan informasi yang dapat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan konsumen.
Menurut tujuan pembeliannya:
konsumen dapat dikelompokan antara lain:
konsumen akhir (individual) yaitu yang terdiri atas individu dan rumah tangga yang tujuan pembeliannya adalah untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau untuk dikonsumsi.
konsumen organisasional yang terdiri dari organisasi, pemakai industry, pedagang dan lembaga non-profit yang tujuan pembeliannya adalah untuk memperoleh laba atau kesejahteraan anggotanya.
Umumnya ada lima peranan yang terlibat, Kelima peranan tersebut meliputi :
Pemrakarsa (initiator) : orang yang pertama kali menyarankan ide untuk membeli suatu barang atau jasa.
Pembawa pengaruh (influencer) : orang yang memiliki pandangan atau nasihat yang mempengaruhi keputusan pembelian.
Pengambilan keputusan (decider) : orang yang menentukan keputusan pembelian.
Pembeli (buyer) : orang yang melakukan pembelian secara nyata.
Pemakai (user) : orang yang mengkonsumsi dan menggunakan barang atau jasa yang dibeli.
Proses keputusan pembelian apabila dilihat dari proses pengambilan keputusan. Ada yang sederhana dan ada pula yang kompleks. Assel membagi dalam 2 dimensi yaitu tingkat pengambilan keputusan dan derajat keterlibatan saat membeli.
Pada dimensi pertama konsumen dibedakan berdasarkan tingkat pengambilan keputusan. Dimensi kedua konsumen dibedakan berdasarkan tingkat keterlibatan saat pemilihan suatu merk. Pada saat itu konsumen tidak jarang terlibat terlalu dalam, hal ini dapat terjadi karena :
Produk amat penting bagi konsumen sebab image pribadi dari konsumen terkait dengan produk.
Adanya keterkaitan secara terus menerus dengan konsumen.
Mengandung resiko yang cukup tinggi.
Pertimbangan emosional.
Pengaruh dari norma group.
Dalam perilaku konsumen pengambilan keputusan adalah proses penting yang mempengaruhi perilaku konsumen,untuk di pahami oleh pemasar. Ada tiga tahapan proses dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan yakni tahap pengakuan adanya kebutuhan (konsumen merasakan adanya kebutuhan), usaha pencarian informasi sebelum membeli dan penilaian terhadap alternative.
Kedua kekuatan eksternal tersebut akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Antara lain adalah :
Mengenali kebutuhan
Mencari Informasi
Mengevaluasi alternative
Mengambil keputusan
Evaluasi Paskapembelian
Berdasarkan definisi/pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pada
perilaku konsumen terdapat dua elemen penting yaitu :
a. Proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu atau kelompok sebagai konsumen
b. Kegiatan fisik yang melibatkan individu dalam menilai,
mendapatkan dan menggunakan barang-barang dan jasa.
semangat, dan mentalitas yang baik dari bangsa indonesia, sedang tata laku lahiriah
tercermin dalam tindakan , perbuatan, dan perilaku dari bangsa idonesia. Tata laku
lahiriah merupakan kekuatan yang utuh, dalam arti kemanunggalan. Meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
Kedua hal tersebut akan mencerminkan identitas jati diri atau kepribadian
bangsa indonesia berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan yang memiliki rasa
bangga dan cinta kepada bangga dan tanah air sehingga menimbulkan nasionalisme
yang tinggi dalm segala aspek kehidupan nasional.
2.3 HAKIKAT WAWASAN NUSANTARA,
Hakikat wawasan nusantara adalah keutuhan nusantara, dalam pengertian cara
pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara demi kepentingan
nasional. Hal tersebut berarti bahwa setiap warga bangsa dan aparatur negar harus
berpikir, bersikap, dan bertindak secara utuh menyeluruh demi kepentingan bangsa
dan negara indonesia. Demikian juga produk yang dihasilkan oleh lembaga negara
harus dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia, tanpa
menghilangkan kepentingan lainnya, seperti kepentingan daerah, golongan dan orang
per orang.
2.4 KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TUJUAN WAWASAN
NUSANTARA.
1. Kedudukan
a. Wawasan nusantara sebagai wawasan nasional bangsa Indonesia
merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat agar tidak terjadi
penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mencapai serta mewujudkan cita-cita dan
tujuan nasional.
b. Wawasan nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari
stratifikasinya sebagai berikut:
1. Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa dan dasar negara berkedudukan sebagai
landasan idiil.
2. Undang0undang dasar 1945 sebagai landasan konstitusi negara, berkedudukan
sebagai landasan konstitusional.
3. Wawasan nusantara sebagai visi nasional, berkedudukan sebagai landasan visional.
4. Ketahanan nasional sebagai konsepsi nasional atau sebagai kebijaksanaan nasional,
berkedudukan sebagai landasan operasional.
2. Fungsi
Wawasan nusantara berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan, serta
rambu-rambu dalam menentukan segala jenis kebijaksanaan, keputusan, tindakan dan
perbuatan bagi penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi
seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Tujuan
Wawasan nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala aspek
kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mementingkan kepentingan nasional dari pada
kepentingan individu, kelompok, golongan, suku bangsa, atau daerah. Hal tersebut
bukan berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan individu, kelompok, suku
bangsa,atau daerah.
2.5 IMPLEMENTASI DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI DARI
WAWASAN NUSANTARA
Indonesia, sebagai negara bangsa (nation state) kini sedang berada di
persimpangan jalan. Di tengah himpitan upaya untuk keluar dari krisis
ekonomi, Indonesia harus menghadapi ragam tuntutan dari daerah yang –entah
kebetulan atau tidak—muncul pada waktu yang hampir bersamaan. Tuntutan
tersebut jenisnya bermacam-macam; dari sekadar menuntut pembagian keuangan
yang lebih adil, tuntutan otonomi yang lebih luas, tuntutan federalisasi,
sampai ke tuntutan kemerdekaan. Akibatnya, eksistensi negara bangsa
Indonesia sebagai negara kesatuan dalam ideologi, politik, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan (sebagaimana dinyatakan dalam konsep yang selama ini
disebut “wawasan nusantara”), kemudian dipertanyakan kesahihannya dalam
menjamin terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang merata.
Menyadari hal yang disebutkan diatas, perlu dipertanyakan secara kritis pada
dua perspektif, yaitu:
1. Perspektif Pertama: Dari Sudut Konsep “Wawasan Nusantara”
Apakah konsep “wawasan nusantara” sebagaimana diyakini, diajarkan, bahkan
diindoktrinasikan selama ini, sejak di sekolah menengah, perguruan tinggi,
sampai ke pejabat tinggi pemerintahan, memang masih merupakan konsep yang
relevan dengan kondisi nyata negara bangsa Indonesia saat ini, dan
tantangannya di masa depan?
Apakah sesungguhnya hakekat dari “Persatuan Indonesia” yang tercantum
dalam Pancasila, memang berpadanan dan sehakekat dengan konsep “wawasan
nusantara”?
2. Perspektif Kedua: Dari Sudut “Semangat Kedaerahan”
`Apakah semangat kedaerahan yang timbul sekarang ini, adalah kondisi nyata
bangsa Indonesia dan masih merupakan tuntutan yang rasional, ataukah hanya
merupakah ungkapan emosional sebagai akibat akumulasi kekecewaan perilaku
politik penguasa Orde Baru selama ini yang dianggap tidak menghargai
aspirasi daerah?
Apakah semangat kedaerahan memang berlawanan atau berbanding terbalik
dengan semangat kebangsaan dalam negara bangsa dan negara kesatuan Republik
Indonesia?
Apakah memang konsep federalisasi yang kini banyak digaungkan adalah
merupakan jawaban bagi permasalahan keadilan yang selama ini terjadi? Atau,
apakah konsep negara kesatuan, memang tidak relevan lagi?
Pertanyaan-pertanyaan diatas memang selayaknya diajukan untuk merenungkan
kembali dan menggali makna hakiki dari kehudupan berbangsa dan bernegara
Republik Indonesia. Dengan memandang berbagai persoalan negara bangsa
Indonesia secara obyektif dan jernih, maka upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan
diatas, niscaya akan memberikan pemahaman masalah yang
komprehensif dan general (tidak parsial), sehingga hasilnya diharapkan dapat
memberikan solusi yang tepat, proporsional dan rasional. Untuk itulah, maka
makalah ini disusun.
1. Krisis Multidimensional Indonesia
Krisis nilai tukar yang dialami Indonesia pada medio Juni 1998, telah
membawa akibat yang sungguh-sungguh diluar perkiraan siapapun, bahkan tak
pula prediksi para ahli. Krisis tersebut, pada kisah lanjutannya berkembang
dan meluas mencapai krisis multidimensional; ekonomi, politik, sosial,
budaya dan kemudian: identitas bangsa.
Adalah kemudian krisis ekonomi yang ditandai kesulitan memperoleh bahan
pokok dan kesempatan kerja (sebagai akibat banyaknya perusahaan yang harus
gulung tikar karena krisis hutang akibat depresiasi rupiah yang amat tajam
dan mendadak), yang kemudian menjadi pemicu timbulnya gerakan mahasiswa yang
muncul bagaikan bola salju. Gerakan mahasiswa itu, kemudian mampu untuk
menciptakan kesadaran kolektif komponen bangsa yang lain, untuk menyadari
bahwa upaya mengatasi krisis ekonomi, haruslah diawali dengan reformasi di
bidang politik.
Reformasi politik, yang semula diarahkan pada pembersihan pemerintahan dari
korupsi, kolusi dan nepotisme (yang kemudian diakronimkan menjadi “KKN”),
ternyata tidak mendapat sambutan yang positif dari pemerintahan Soeharto
yang ketika itu berkuasa. Akibatnya, kekecewaan akibat ketidak-responsif-an
pemerintah, malah membawa tuntutan yang sifatnya lebih mendesak; yakni
perlunya pergantian pucuk pimpinan pemerintahan dari Presiden Soeharto.
Gerakan mahasiswa, yang menggulirkan tuntutan pergantian pimpinan nasional
itu, akhirnya mampu untuk memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri, pada
tanggal 21 Mei 1998. Ketika itu, ratusan ribu mahasiswa menduduki Gedung
MPR/DPR untuk menyatakan tuntutannya.
Rupanya, pergantian pimpinan nasional tersebut, melahirkan suasana politik
yang hiruk pikuk. Tiba-tiba, semua orang ingin bicara dan didengar suaranya.
Termasuk dari mereka yang selama ini dikenal sebagai pendukung setia rejim
masa lalu. Akibatnya banyak “bunglon politik” yang ikut bermain dalam kancah
politik Indonesia. Bermacam isu pula menjadi sasaran untuk dihembuskan pada
masyarakat. Diantara sekian banyak isu itu adalah tuntutan desentralisasi
kekuasaan dan pembagian keuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan
daerah. Dengan berbagai cara tuntutan itu dimunculkan. Dalam kasus terakhir
di Aceh, bahkan sampai menggelar “SU MPR” (Sidang Umum Masyarakat Pejuang
Referendum) Aceh, sebagai media pengungkapan tuntutan masyarakat Aceh.
Khusus untuk hal itu, beragam ide yang ditawarkan sebagai solusi pun muncul;
dari sekadar menuntut pembagian keuangan yang lebih adil, tuntutan otonomi
yang lebih luas, tuntutan federalisasi, sampai ke tuntutan kemerdekaan.
2. Permasalahan Pusat dan Daerah
Pada dasarnya, permasalahan pusat dan daerah tersebut berdasar pada 3 pokok
masalah:
a. Permasalahan kekuasaan yang sentralistis.
Pemerintahan Orde Baru,
dianggap sangat sentralistis dalam menjalankan kekuasaan. Banyak hal yang
ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah dipandang
seakan-akan hanya sebagai “perpanjangan tangan” pemerintah pusat. Akibatnya,
aspirasi daerah ditutup dengan mengedepankan justifikasi “stabilitas dan
kepentingan nasional”. Hal ini menimbulkan perasaan dehumanisasi pada masyar
akat di daerah.
b. Permasalahan pembagian keuangan.
Dalam menjalankan kebijakan ekonomi,pemerintah pusat selama Orde Baru
juga sangat sentralistis. Sebagian besarhasil-hasil yang didapat daerah, harus
diserahkan kepada pemerintah pusat.Dalam kasus Aceh misalnya, pada tahun
anggaran 1998/999, 91,59% hasil-hasil daerah diserahkan kepada pusat. Dengan
demikian berarti daerah (Aceh) hanya mendapat “tetesan” 8,41% dari hasil buminya
sendiri. Fenomena itu, bukan hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di tempat-tempat lain
Indonesia. Praktik
pemerintahan seperti itu, menimbulkan perasaan bahwa daerah seakan hanyalah
“sapi perahan” dari pemerintah pusat. Meskipun kenyataannya pemerintah pusat
memberikan “subsidi daerah otonom” (SDO) pada setiap Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), tetapi paradigma yang berlaku bahwa SDO tersebut
adalah “kebaikan hati” pemerintah pusat kepada daerah. Padahal, dana untuk
SDO tersebut, sebagian didapatkan dari daerah juga.
c. Permasalahan budaya. Pemerintah Orde Baru mengedepankan wawasan
“budaya
nasional”.
Meskipun dipropagandakan bahwa budaya daerah adalah kekayaan
budaya nasional, namun dalam praktiknya sering terjadi marjinalisasi
terhadap budaya daerah. Padahal, kendati sebagai negara kesatuan, Indonesia
terdiri dari ribuan budaya dari bermacam suku-suku bangsa. Bahkan, dari satu
suku bangsa, terdapat sub-sub kultur yang berbeda. Perbedaan budaya tersebut
membawa konsekuensi pada perbedaan atau keragamam paradigma dalam
menjalankan kekuasaan dan implementasi kebijakan. Kondisi itu, seakan
diabaikan dan dianggap tidak begitu penting. Bahkan dalam banyak kasus,
terjadi penyeragaman praktik budaya. Hal itu, menimbulkan resistensi yang
mendasar, karena budaya sesungguhnya tetap hidup dalam bawah sadar manusia,
tidak dapat dihilangkan dengan upaya penyeragaman.
3. Tuntutan Daerah.
Permasalahan Pusat dan Daerah seperti diuraikan diatas, terjadi selama
puluhan tahun. Pada kurun waktu tersebut, perasaan kecewa atas permasalahan
itu, dapat ditekan dan ditutup-tutupi dengan perilaku represif dari penguasa
waktu itu. Bahkan, pada daerah-daerah dengan tingkat resistensi yang tinggi,
pemerintah pusat harus pula melakukan operasi-operasi militer yang
mengakibatkan banyak tindakan-tindakan kekerasan yang dianggap melanggar hak
asasi manusia (HAM). Sehingga, permasalahan pusat dan daerah seperti
disebutkan diatas, semakin bertambah rumit dan membawa luka-luka yang cukup
mendalam pada daerah.
Akibatnya, ketika terjadi pucuk pimpinan kekuasaan, luka-luka dan
kekecewaan
yang dipendam dan ditutup-tutupi selama puluhan tahun itupun meluap. Bahkan,
kemudian meledak dan melahirkan konflik-konflik horizontal (seperti yang
terjadi di Maluku) dan vertikal (seperti terjadi di Aceh, Riau dan Irian
Jaya). Tuntutan daerah itu muncul secara bersamaan karena dianggap bahwa
setelah puluhan tahun mengalami represi, maka kinilah saatnya harus
bersuara. Sejarah hitam pergumulan pusat dan daerah itu, telah terjadi pada
kasus Timor-Timur, propinsi ke-27 Republik Indonesia, yang harus berpisah
karena kalahnya tawaran otonomi pemerintah pusat dalam jajak pendapat. Hal
itu, adalah satu contoh kasus yang nyata, bagaimana perilaku sentralistis
dan upaya-upaya represif yang menyertainya, ternyata dalam jangka panjang
tidak membuahkan hasil apa-apa, dan bahkan menambah rumit persoalan yang
sebenarnya sederhana. Akibatnya, solusi permasalahannya pun semakin
kompleks.
Pemahaman “Wawasan Nusantara”: Konsep, Permasalahan dan
Kontradiksi Praktik.
1. Konsepsi “Wawasan Nusantara”
“ Wawasan Nusantara” adalah sebuah konsep yang diperkenalkan oleh
pemerintahan Orde Baru sebagai identifikasi bangsa Indonesia. Dalam buku
“Kewiraan untuk Mahasiswa” disebutkan bahwa wawasan nusantara adalah “cara
pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide
nasionalnya, yang dilandasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang
merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bermartabat,
serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaannya dalam menjapai tujuan
perjuangan nasional”.
Wawasan nusantara, juga merupakan wujud dari kesatuan bangsa Indonesia
dalam
hal ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Sifat dan ciri-ciri wawasan nusantara disebutkan sebagai “manunggal” dan
“utuh menyeluruh” di bidang wilayah, bangsa, ideologi, politik, ekonomi,
sosial, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, psikologi, dan berkeseimbangan.
Bahkan, dalam pemahaman selanjutnya, ditanamkan pula bahwa “ajaran
wawasan
nusantara” adalah wujud dan isi kepribadian bangsa, yang hendak mewujudkan
diri dan lingkungan alam Indonesia yang sarwa nusantara menurut cara-cara
Indonesia di dalam ruang lingkup hidup yang sarwa nusantara. Jadi, wawasan
nusantara adalah “ajaran” dan merupakan “wujud” dan “isi kepribadian bangsa”
Dengan pemahaman singkat itu, dapat dilihat bahwa “wawasan nusantara”
sebagai suatu konsep, sangat menekankan kesatuan. Meskipun dalam banyak hal,
disebutkan pula bahwa ciri-ciri khas daerah diperhatikan, namun esensinya
tetap ditujukan dan dibingkaikan dalam “kesatuan” wawasan nusantara.
2. Wawasan Nusantara: Permasalahan dan Kontradiksi Praktik
Sebagaimana diuraikan diatas, konsepsi wawasan nusantara sangat kental
dengan perspektif kesatuan. Permasalahannya adalah bahwa wawasan nusantara
mengandung konsepsi yang lebih banyak mengedepankan ide kesatuan (ke-ika-an)
daripada ide kepelbagian (ke-bhineka-an). Hal itu tampak misalnya dalam
butir kesatuan sosial budaya, “Bahwa Budaya Indonesia pada hakekatnya adalah
satu; sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan Budaya
Bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan Budaya Bangsa
Seluruhnya, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa”.
Padahal, fakta aktual dan historis, bahwa di daerah nusantara terdapat banyak
sekali ragam budaya yang memang nyata-nyata berbeda. Apa yang disebut sebagai
“Budaya Indonesia” pada kenyataannya tidak ada dan tidak memiliki bentuk
yang pasti. Dalam hal ini, konsep yang seharusnya diakui adalah kepelbagaian
daripada konsep kesamaan. Sehingga, akan lebih cocok bila seandainya
disebutkan; “Indonesia memiliki corak budaya yang begitu beraneka dan
masing-masing memiliki identitas dan ciri khas yang diakui serta diberikan
ruang lingkup untuk berkembang dan saling memperkaya dalam membangun budaya
Indonesia”. Dengan demikian, pengakuan atas kepelbagaian diberikan penekanan
dalam bingkai kesatuan budaya Indonesia.
Dalam praktiknya, kontradiksi itu lebih memprihatinkan. Misalnya dalam
bidang ekonomi, wawasan nusantara menyebutkan, “Tingkat perkembangan ekonomi
harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri-ciri
khas yang dimiliki oleh daerah-daerah dalam pengembangan kehidupan
ekonominya”. Namun praktiknya seperti disebutkan diatas, ternyata memiliki
ketimpangan pembagian keuangan pusat dan daerah.
Permasalahan dan kontradiksi seperti disebutkan diatas, tentunya dapat
ditilik lebih banyak lagi. Namun, contoh kasus pada bidang sosial-budaya dan
ekonomi, kiranya dapat memberikan gambaran bahwa memang permasalahan dan
kontradiksi itu ada.
3. Relevansi Konsepsi Wawasan Nusantara Terhadap Permasalahan
Negara Bangsa
Indonesia Saat Ini.
Seperti disebutkan diatas, konsepsi wawasan nusantara memang mengandung
permasalahan dan kontradiksi antara ke-ika-an dan ke-bhineka-an. Apalagi, di
tengah tuntutan daerah untuk lebih berperan (bahkan, untuk “merdeka”), maka
wawasan nusantara memang seharusnya layak untuk direnungkan dan dikaji ulang
dengan mengedepankan pengakuan ke-bhineka-an sebagai hakekat dan kondisi
nyata (baik pada masa sekarang, maupun masa lampau, juga di masa datang)
bangsa Indonesia. Tidaklah tepat dan bijaksana bila memandang bahwa wawasan
nusantara adalah konsep yang senantiasa relevan dan tidak bisa diganggu
gugat. Sebab, Undang-Undang Dasar (UUD 1945), sebagai landasannya pun telah
mengalami perubahan (dimandemen) dalam Sidang Umum MPR 1999.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, pada diskusi publik kini muncul
beberapa alternatif pemecahan, antara lain: perimbangan keuangan pusat dan
daerah, otonomi daerah yang seluas-luasnya, federalisasi Indonesia dan
bahkan tuntutan merdeka. Terhadap alternatif-alternatif tersebut, haruslah
diberikan komentar yang kritis yang sama bobot kekritisannya dengan komentar
terhadap konsepsi wawasan nusantara.
1. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Alternatif ini ditawarkan sebagai jawaban atas ketimpangan anggaran pusat
dan daerah. Pada periode kepemimpinan Soeharto, anggaran di daerah dibuat
sangat tergantung terhadap pemerintah pusat. Hampir 80% anggaran daerah
harus menunggu didatangkan dari pusat, padahal di sisi lain hasil-hasil
daerah, 90% diserahkan pada pemerintahan pusat.
Karena itu diberikan solusi bahwa pembagian keuangan pusat dan daerah ditata
dengan lebih adil, dengan keluarnya Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Pada UU tersebut
pembagian keuangan yang semula ditekankan pada pemerintah pusat diubah
menjadi; (1) Hasil Pajak Bumi dan Bangunan, 10% untuk pemerintah pusat dan
90% untuk daerah, (2) Hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunanl 20%
untuk pusat, 80% untuk daerah, (3) Hasil kehutanan, pertambangan umum dan
perikanan; 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah; (4) Hasil minyak bumi, 85%
untuk pusat 15% untuk daerah dan gas alam; 70% untuk pusat dan 30% untuk
daerah. Bahkan, porsi daerah ditambah lagi dengan adanya “Dana Alokasi Umum”
yang dialokasikan untuk daerah-daerah dengan perimbangan tertentu, yang
jumlah totalnya adalah 25% dari penerimaan dalam negeri APBN, sebagai
perimbangan (balancing).
Namun, upaya itu saja tidak cukup. Sebab, permasalahan negara bangsa
Indonesia bukan hanya pada persoalan ekonomi. Seperti disebutkan diatas,
permasalahannya mencakup tiga pokok; kekuasaan, ekonomi dan budaya. Jadi,
diperlukan pemecahan masalah yang lebih komprehensif.
2. Otonomi Vs. Federalisme
Saat ini terjadi polemik yang cukup ramai dalam tataran publik. Apakah untuk
mengatasi permasalahan daerah, memang perlu mengubah bentuk negara menjadi
negara federal ataukah dapat diatasi dengan memberikan otonomi daerah yang
seluas-luasnya dalam bingkai negara kesatuan? Terhadap masalah ini, haruslah
dicermati bahwa bentuk negara adalah permasalahan mendasar dan sifatnya
jangka panjang, sehingga tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa. Bentuk
negara mencakup pertimbangan sejarah, kesepakatan bersama dan tujuan
didirikannya negara.
Dalam banyak kasus, negara federal ternyata bisa berperilaku lebih
sentralistis daripada negara kesatuan. Misalnya saja Uni Sovyet yang
merupakan negara federal tetapi sangat sentralistik, sehingga akhirnya
bubar. Sebaliknya Belanda dan Perancis adalah negara kesatuan yang tidak
sentralistis. Hendaknya diingat bahwa penguatan peran daerah tidak harus
dengan perubahan bentuk negara.
3. Tuntutan Merdeka dan Kemerdekaan Yang Dicita-citakan
Umumnya, tuntutan merdeka sebagai letupan akumulasi kekecewaan terhadap
perilaku pemerintah pusat selama rejim Orde Baru. Tuntutan itu diantaranya
terjadi di Aceh, Irian Jaya dan Riau. Tetapi patut dicatat bahwa tuntutan
merdeka secara kewilayahan tidak serta merta menjamin kemerdekaan yang
sesungguhnya bagi masyarakat di daerah tersebut. Karena itu, kajian yang
realistis dan jernih hendaknya senantiasa dikedepankan, agar diperoleh
pemecahan masalah yang obyektif.
Permasalahan daerah memang permasalahan yang multidimensional. Karena
itu,pemecahan masalah yang harus ditempuh haruslah komprehensif dan mencakup
cetak biru pembangunan institusi (institutional development). Paling tidak
dibutuhkan semacam assessment menyeluruh terlebih dulu atas penyelenggaraan
negara serta kerangka umum pembangunan kelembagaan. Tanpa hal itu, pemecahan
yang ditempuh tidak akan menghasilkan landasan yagn kokoh untuk menopang
keberadaan Indonesia sebagai negara bangsa.
Negara bangsa Indonesia dihadapkan pada dua pilihan; pertama, tetap bertahan
dan eksis sebagai negara bangsa, atau kedua, harus bubar dan tinggal
kenangan. Pilihan itu akan sangat bergantung pada cara pandang terhadap
permasalahan yang kini timbul di daerah. Jika cara pandang sentralistis
tetap dipertahankan, niscaya hanya akan menghasilkan tindakan represi dan
menimbulkan luka-luka baru. Karena itu, perspektif kebinekaan sudah saatnya
dikedepankan, justru untuk mempertahankan kesatuan Republik Indonesia.
Karena itu, konsepsi wawasan nusantara sebagai ide yang dikedepankan
sebagai
kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan, juga patut dikaji ulang; manakah yang relevan dengan tantangan dan
kondisi nyata bangsa Indonesia dan mana yang tidak relevan lagi. Apalagi,
kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintahan baru yang
dipimpin duet Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati
Soekarnoputri, untuk mengimplementasikan peran daerah yang lebih besar telah
dinyatakan dengan tegas.
Sesuai dengan kenyataan, bahwa permasalahan di daerah tidak dapat
disimplifikasi dengan memfokuskan permasalahan pada bidang ekonomi.
Pemakaian terminologi lama, seperti “separatisme” dan “gerakan pengacau
keamanan (GPK)”, sudah selayaknya ditinggalkan. Permasalahan di daerah
merupakan permasalahan yang nyata dan sebagai konsekuensi logis dari
perilaku sentralistis kekuasaan pemerintahan lama. Sebaliknya di sisi
daerah, juga haruslah berpikir logis, realistis dan jernih. Akumulasi
kekecewaan memang wajar, namun tuntutan yang sifatnya emosional patutlah
direnungkan ulang. Di sisi pemerinta pusat pelaksanaan otonomi daerah
haruslah disegerakan.
Hendaknya diingat bahwa hakekat otonomi adalah mengembangkan manusiamanusia
Indonesia yang otonom, memberikan keleluasaan
bagi berkembangnya potensi-potensi terbaik yang dimiliki individu secara
optimal. Individu-individu yang otonom menjadi modal dasar bagi perwujudan
otonomi daerah yang hakiki. Karena itu, pembangunan institusi menjadi
penting sebagai bagian dari solusi yang komprehensif.
Krisis multi-dimensional Indonesia telah menyadarkan kita bahwa memang ada
kekurangan di masa lalu yang harus dikoreksi dan diperbarui. Dan, pembaruan
adalah sesuatu yang abadi; terjadi sekarang, dan di setiap waktu, ia tak
dapat dielakkan.
2.6. ARAH PANDANG WAWASAN NUSANTARA.
1. Arah Pandang Ke Dalam
Arah pandang ke dalam bertujuan menjamin perwujudan persatuan kesatuan
segenap aspek kehidupan nasional, baik aspek alamiah maupun sosial. Arah pandang
ke dalam mengandung arti bahwa bangasa indonesia harus peka dan berusaha untuk
mencegah dan mengatasi sedini mungkin faktor-faktor penyebab timbulnya
disintegrasi bangsa dan harus mengupayakan tetap terbina dan terpeliharanya
persatua dan kesatuan dalam kebhinekaan.
2. Arah Pandang Ke Luar
Arah pandang ke luar ditujukan demi terjaminnya kepentingan nasional dalam
duna serba berubah maupun kehidupan dalam negeri serta dalam melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial, serta kerja sama dan sikap saling menghormati. Arah pandang ke luar
mengandung arti bahwa kehidupan internasionalnya, bangsa Idonesia harus berusaha
mengamankan kepentingan nasionalnya dalam semua aspek kehidupan demi
tercapainya tujuan nasional sesuai tertera pada Pembukaan UUD1945.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Wilayah Indonesia yang merupakan sebagian besarnya adalah wilayah perairan mempunyai
banyak celah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh negara lain, yang pada
akhirnya dapat meruntuhkan bahkan dapat menyebabkan disintegrasi bangsa
Indonesia. Indonesia yang memiliki banyak pulau memerlukan penjagaan yang sangat ketat Dimana pengawasan tersebut tidak hanya dilakukan
oleh pihak TNI/Polri saja tetapi semua lapisan masyarakat Indonesia. Banyak kasus hampir hilangnya pulau pulau diindonesia hanya karena penjagaan dan kesadaran akan Negara yang kaya berkurang, apabila hanya kita
mengandalkan TNI/Polri saja yang persenjataannya kurang lengkap mungkin bangsa
Indonesia sudah tercabik – cabik oleh bangsa lain. Oleh karena itu dengan adannya wawasan
nusantara kita dapat mempererat rasa persatuan di antara penduduk Indonesia yang
saling berbhineka tunggal ika.
Wawasan nasional bangsa Indonesia adalah wawasan nusantara yang merupakan
pedoman bagi proses pembangunan nasional menuju tujuan nasional. sedangkan
ketahanan nasional merupakan kondisi yang harus diwujudkan agar proses
pencapaian tujuan nasional tersebut dapat berjalan dengan sukses. Oleh karena itu
diperlukan suatu konsepsi ketahanan nasional yang sesuai dengan karakteristik
bangsa Indonesia.
4.2 Saran.
Dengan pembelajaran wawasan nusantara ini, kita harus dapat memiliki sikap dan
perilaku yang sesuai kejuangan, cinta tanah air serta rela berkorban bagi nusa dan
bangsa. Kita sebagai pemuda penerus bangsa hendaknya ditanamkan
sikap wawasan nusantara sejak dini sehingga kecintaan mereka terhadap bangsa dan
negara lebih meyakini dan lebih dalam. Untuk itulah menurut saya perlu kiranya pendidikan yang
mempelajari tentang wawasan nusantara dimasukan ke dalam suiatu
kurikulum yang sekarang diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia (misalnya :
pelajaran Kewarganegaraan, Pancasila, PPKn dan lain - lain).
Untuk masyarakat Indonesia agar dapat menjaga makna dan hakikat dari wawasan nusantara yang
tercermin dari perilaku – perilaku sehari hari misalnya ikut menjaga keamanan dan
ketertiban lingkungan.
Makalah ini pun memilki banyak kekurangan saya harapkan adanya kritik dan saran agar kedepannya makalah ini bisa bermanfaat.
Saya mengucapkan trima kasih kepada semua pihak yang membantu terselesaikannya makalah ini.